Chapter 4: 03. Setelah Insiden itu 2
Chapter 4: 03. Setelah Insiden itu 2
Author’s POV
Chloe masih terbayang dengan apa yang terjadi barusan. Ia merasa bersalah karena sudah bertindak
seperti anak durhaka terhadap ibunya. Rasa bersalah mulai menghantuinya, ia merasa tidak berguna
sebagai seorang anak. Terlebih, bukan hanya dia yang merasa terluka dan dia bisa melakukan hal
seegois itu tetapi ibunya juga. Chloe berjalan menuju meja riasnya, untuk melihat bagaimana mimik © 2024 Nôv/el/Dram/a.Org.
wajahnya saat ini.
Hampa.
Tidak hanya tatapannya saja, tapi juga perasaan dan hatinya.
Ia tidak tahu harus berkata seperti apa untuk pantulan dirinya dicermin. Apa dia harus menangis?
Ataukah dia harus pergi berlari untuk meminta maaf? Atau mungkin haruskah dia mengabaikan
semuanya dan menjalaninya seakan tidak ada apapun dikeesokkan harinya.
Ia bahkan merasa tidak ada tanda kehidupan dalam dirinya, karena ia sulit untuk mengeskspresikan
dirinya di depan orang banyak, apalagi untuk menangis. Ia tahu jika menangis itu merupakan hal yang
lumrah, bahkan patut untuk dilakukan agar emosi negatif kita bisa keluar. Tapi entah kenapa dalam
dirinya menolak untuk menangis karena itu ia tidak ingin terlihat lemah.
Lebih tepatnya, hati gadis itu dilindungi oleh baja, padahal di dalam dia sangatlah rapuh.
Sebenarnya ada hal lain yang ia rahasiakan dari siapapun, yakni mengenai dirinya yang sudah
didiagnosa depresi berat atau dapat dikatakan depresi mayor.
Depresi mayor merupakan jenis depresi yang membuat penderitanya merasa sedih dan putus asa
sepanjang waktu. Gejala seperti; suasana hati yang murung dan suram, kehilangan minat terhadap
hobi atau aktivitas lain yang sebelumnya disukai, memiliki gangguan tidur, sering merasa lelah dan
kurang berenergi suasana hati yang murung dan suram, selalu merasa bersalah dan tidak berguna,
sulit berkonsentrasi, dan adanya kecenderungan untuk bunuh diri.
Gejala ini bisa berlangsung berminggu-minggu hingga berbulan-bulan. Terlepas dari berapa lama
gejala berlangsung. Depresi berat dapat mengganggu aktivitas dan kualitas hidup penderitanya. Tapi
walaupun begitu, depresi tidak boleh dianggap remeh karena penderita harus segera ditangani oleh
professional, karena jika dibiarkan, kejadian seperti self-harm dan bahkan niat untuk bunuh diri bisa
saja terjadi jika depresi tidak ditangani dengan baik.
Chloe hanya bisa pergi sekali ke psikolog, untuk mencari tahu bagaimanakah gambaran dirinya.
Psikolog tersebut berkata, apa yang terjadi pada Chloe dikarenakan trauma kekerasan yang ia lalui
dimasa kecilnya yang membuatnya mimpi buruk dan mengalami sleep paralyze dengan rasa sakit
ketika ia bangun.
Belum lagi belakangan ini dia mendengar suara-suara aneh yang bisa membuatnya meragukan dirinya
sendiri,
“Apakah aku nyata?”
“Apakah ini hanya sugesti ku saja?”
“Bagaimana jika ini hanyalah kesedihan biasa yang kulebih-lebihkan?”
“Jika itu benar, mengapa rasanya semenderita ini?”
Pemikiran seperti ini terus menghantuinya dan di dalam kesendiriannya ia berteriak dalam hati. Ia tidak
sempat lagi untuk ke psikolog maupun psikiater karena dia sudah mulai disibukkan dengan
perkuliahannya.
“Aku tidak merasa apapun dalam diriku,”
Tapi, ketika permasalahan yang menyangkut keluarganya mencuat, semuanya berubah. Hal itu
membuatnya hampir gila dan melakukan banyak self-harm, sebagai bentuk pelampiasan emosinya
yang selama ini mati. Saat depresi menyerangnya, ia sadar tapi seakan tidak bisa menahan dirinya
untuk terus menusukkan garpu ke pahanya. Dan begitu ketika dia sudah stabil, ia seakan dia baru
sadar dari mimpinya jika dia sudah melakukan hal yang tidak baik.
Depresi hadir tanpa diduga-duga, terkadang karena hal sepele yang membuat penderitanya
overthinking dan bisa juga memicu panic attack dan itu pernah terjadi pada Chloe, ketika ia membaca
komentar-komentar di sosial media yang sangat meremehkan apa yang seorang depresi rasakan. Hal
itu membuatnya down dan menangis hebat, padahal komentar itu bukanlah untuk dirinya.
Inilah yang menjadi pergumulannya setiap hari. Ia merasa seperti karakter antagonis di setiap aspek
kehidupannya, karena ia susah sekali merasa simpati dan ia tidak merasa apapun dalam dirinya.
Sangat disayangkan, jika ia rutin kontrol ke psikiater, pasti kondisinya membaik.
Juga, salah satu alasan ia menutup hatinya dengan baja adalah karena seorang sahabat yang
seharusnya mendukung dirinya, malah meremehkan permasalahannya dan menjudge dirinya kurang
beriman. Hal itu menghancurkan hatinya. Padahal, yang Chloe butuhkan adalah dukungan, tetapi
remehan dan penolakanlah yang ia dapatkan. Sangat menyakitkan.
Sebuah depresi terjadi tahap demi tahap untuk bisa dikatakan depresi. Chloe hanya membutuhkan
dukungan, tetapi dukungan itu pupus karena kurangnya pengertian masyarakat terhadap mental illness
itu sendiri.
Menyakitkan? Sangat.
Sejak saat itu, ia berpaling dan tidak mempercayai siapapun karena manusia itu mengecewakan, baik
sadar maupun tidak sadar.
****
Semua mata tertuju pada Chloe ketika Chloe hendak masuk kelas. Tidak diragukan lagi, kejadian saat
ospek tersebut pasti pemicu mata-mata itu meluruskan pandangannya pada Chloe. Namun ada
sesuatu yang menyita perhatian Chloe, yakni terlihat sebuah tangan yang melambai kepadanya. Dan
tebak siapa itu?
Ya, itu Jocelyn. Chloe melihat perbedaan Jocelyn yang kemarin dan sekarang. Sekarang dia terlihat
cantik dan cukup modis juga, kalau bisa dikatakan, ia memang terlihat seperti orang yang berada
karena outfit dan barang-barang yang ia pakai. Berbeda dengan Jocelyn, Chloe hanya memakai
kemeja kebesaran dengan celana jeans, ya seperti outfit mahasiswa lainnnya. Hal itu dinilai aneh bagi
Chloe, untuk apa anak sepertinya seakan terus mencari perhatian kepadanya?
Chloe menilai, Jocelyn bisa saja mencari teman yang sederajat dengannya, memakai jam tangan
mahal, outfit yang bernama, belum lagi dengan makeupnya yang minim, yang menambah kesegaran
diwajahnya, tidak seperti kemarin yang lusuh. Chloe yakin, pasti akan banyak yang menyukai Jocelyn,
karena dia memang cantik dan juga sifatnya yang ceria dan ramah.
Jocelyn sudah menyiapkan meja dengan meletakkan tas nya di bangku sampingnya agar tempat itu
tidak diambil oleh siapapun. Melihat gadis it terus melambai, dan memberi isyarat untuk duduk di
sampingnya, Chloe berjalan dan benar-benar duduk ditempat Jocelyn siapkan.
“Ternyata kita benar-benar sekelas ya,”
Chloe tersenyum kecil, sebelum dia mengeluarkan binder dan penanya. Jocelyn ingin sekali bercakap-
cakap pada Chloe, tapi dia sangat bingung bagaimana caranya karena gadis itu terlalu cuek.
“Chloe,”
“Ya?”
“Apa kau tidur nyenyak semalam.”
“Bodoh, apa yang kulakukan?” batin Jocelyn.
“Yah, lumayan,”
“Hmm anu, Chlo-“
“Perkuliahan akan dimulai, bersiaplah,” ujar gadis itu, tanpa memandang Jocelyn yang sedang berpikir
untuk percakapan selanjutnya,
“O-oh, benar juga,” jawabnya dengan canggung.
Dan sepanjang perkuliahan, Chloe sangat focus dan menulis beberapa hal yang penting, sementara
Jocelyn tidak berhenti menguap sepanjang perkuliahan. Ia takjub dengan Chloe ketika ia melirik isi
catatannya yang penuh dengan tinta warna warni.
Mata kuliah yang mereka saat ini adalah mata kuliah komunikasi bahasa inggris, dan akhir dari
perkuliahan, setiap mahasiswa ditugaskan untuk mencari kelompok yang terdiri dari 3 orang untuk
mempresentasikan materi apapun menggunakan bahasa inggris di minggu depan.
“Kita sekelompok yuk,” ajak Jocelyn yang dibalas anggukan oleh Chloe sembari ia bersiap-siap untuk
keluar kelas. Jocelyn terus mengekori Chloe bahkan saat Chloe berjalan ke toilet. Chloe membalikkan
tubuhnya, menatap gadis itu untuk menilik respon dan niat nya saat ini,
“Berhentilah mengikutiku,”
“Tapi, bukankah kita satu kelompok?”
Chloe menghela nafas,”Kita bisa bahas nanti,”
“Tapi gimana bisa? Aku tidak memiliki kontakmu,”
“Ah benar juga,”
Chloe meminta ponsel Jocelyn untuknya menyimpan kontaknya.
“Oh iya, kita sebenarnya kurang satu orang lagi loh,”
“Nanti kita cari,” ujar Chloe, sebelum dia masuk ke toilet. Jocelyn sangat antusias, ia yakin pasti
bakalan sangat bagus jika sekelompok dengan Chloe, terlebih bahasa inggrisnya juga bagus.