Chapter 5
Chapter 5
BAB 5 I Perhatian
Senin pagi Via merasa kembali tidak enak badan. Dia memutuskan untuk cuti satu hari saja. Sean menatapnya khawatir, terlihat enggan ke kantor ketika mendapati Via berbaring tak berdaya. Pria itu juga membujuk Via pergi ke dokter, tetapi dia menolak karena rumah sakit memberinya trauma.
Sean yang tahu bahwa Via takut rumah sakit akhirnya
memilih untuk tidak memaksa, meski ekspresinya tampak keberatan.
“Ya Daren,” kata Sean sembari sesekali melirik ke arah Via yang mendengarkan dari atas kasur. “Aku tidak bisa ke kantor hari ini,” lanjutnya, memberi tahu Daren melalui panggilan telepon. “Hmm … hmm … yup, Oh, Ok, baiklah,” gumam Sean lalu berjalan keluar menuju ruang kerja.
Melihat punggung Sean yang menghilang di balik pintu, membuat Via menghembuskan napas panjang. Tadinya dia pikir Sean tidak peduli dan pergi kerja meninggalkan Via sendiri, tetapi ternyata dia salah. Hatinya berbunga begitu Sean menghubungi manajer operasional bahwa dia cuti hari ini.
Beberapa saat kemudian Sean kembali ke kamar, tidak terlihat ponsel di tangan yang digantikan semangkuk bubur. Dia tersenyum pada Via lalu mendekat ke ranjang.
“Hari ini aku akan mengurusmu. Sudah kuminta Daren untuk menggantikanku di Luna Star sementara,” jelas Sean walau Via tidak bertanya. Akhir-akhir ini Sean sering melakukan hal-hal yang di luar kebiasaan.
“Kau mau makan sendiri atau aku yang suapi?”
Melihat Sean hendak menyendok bubur, Via pun bangkit dan meminta mangkuk bubur tersebut.
“Aku suap ya,” bujuk Sean tiba-tiba.
Sesaat Via termangu, wajahnya pun merona. Mendapat tatapan Sean yang memohon Via juga tidak mau menolak. Satu suapan masuk ke dalam mulutnya, mengukirkan senyum di wajah Sean yang rupawan. Hingga suapan terakhir, Sean tetap seperti enggan meninggalkan.
“Kau mau melakukan apa hari ini?” tanya Via begitu Sean menaruh mangkuk kosong ke atas meja.
“Aku akan mengerjakan sesuatu di ruang tengah, kau istirahat saja. Nanti akan aku bangunkan begitu makan siang tiba,” ucapnya sembari mendaratkan kecupan di dahi Via yang berkerut. “Jangan cemberut, jika kau tidak sedang sakit, aku pasti tidak akan mau beranjak dari kasur.”
Setelah mendapat cubitan cinta yang Via beri, Sean pun keluar kamar sembari tertawa. Apa lagi wajah Via memerah bukan karena demam, melainkan godaan Sean barusan.
Beberapa jam kemudian, Via terbangun kembali, dan melirik jam di atas meja menunjukan pukul sebelas. Dia tidak sanggup untuk melanjutkan tidur kembali, sehingga memutuskan untuk bersih-bersih diri dan mencari Sean setelahnya.
Pria itu tampak sibuk di meja makan dengan tumpukan kertas di tangan serta laptop yang menyala di atas meja. Kepalanya terangkat begitu melihat kehadiran Via saat memasuki ruangan.
“Hey,” sapa Sean melihat wajah Via segar kembali sehabis istirahat yang cukup.
“Hey,” balas Via mendekat dan mendaratkan ciuman di pipi pria itu. “Kau sibuk sekali.”
Sean menggelengkan kepala, “Tidak juga. Hanya beberapa laporan yang masih bisa diperiksa lain kali. pekerjaanku baru saja selesai.” Dia berdiri sembari merapikan meja.
Via memeriksa kulkas dan hendak menyiapkan makan siang saat dia merasakan tangan Sean melingkari tubuhnya dari belakang.
“Tidak perlu memasak, aku akan memesankan sesuatu,” bisik Sean sembari meninggalkan kecupan demi kecupan di sepanjang leher hingga bahu.
Tubuh Via bergetar, menerima bibir Sean yang panas. This content provided by N(o)velDrama].[Org.
“Tapi aku ingin melakukan sesuatu. Diam saja membuatku bosan,” ucap Via di tengah cumbuan itu.
Sean pun menghela napas dan melepas pelukan. “Baiklah, aku akan membantu. Apa yang kau butuhkan?” tanyanya ikut memerhatikan isi kulkas di hadapan mereka.
Setelah memutuskan bahan-bahan yang akan digunakan, keduanya bekerja bersisian dengan suasana khidmat dan hening menyelimuti, hanya terdengar suara pisau di atas telenan, dan gemerisik air serta minyak pada wajan.
Setelah makanan siap dihidang, keduanya makan di ruang TV sembari menikmati film roman picisan yang Via plih. Sembari mengunyah, sesekali Sean mengomentari adegan demi adegan yang baginya tidak masuk akal.
“Lihat saja, mereka pasti putus,” katanya melihat pertengkaran pasangan di layar plasma.
Via tertawa saat prediksi Sean terbukti. “Kau lebih cocok jadi komentator.”
“Filmnya mudah ditebak, dan alurnya terlalu mainstream,” jawab Sean melihat ending yang tidak memuaskan. Sean merapatkan tubuh dengan Via begitu mereka menghabiskan makan siang, sedang tangannya mengelus lengan dan bahu gadis itu walau matanya fokus ke depan menyaksikan pertunjukan.
“Kau mau menonton film yang lain?” tawar Sean yang disetujui Via.
“Kau benar, filmnya tidak seru.”
Setelah berpindah channel, Via pun bersandar ke sofa dan merebahkan kepala pada bahu Sean yang bidang. Jemari lentiknya memainkan baju kaos pria itu dengan gerakan malas. Kali ini keduanya menonton film tentang seorang wanita desa yang meraih mimpi di kota besar. Setelah film berjalan setengah, Sean seakan tidak bisa diam untuk tidak bertanya.
“Kau pernah bilang ingin memiliki toko roti,” bisik Sean ketika Via mulai mengantuk hingga kelopak matanya setengah terpejam.
“Ya, dan kau sudah tahu ini sejak awal kita bertemu.” Via ingin tertawa mengingat kirman roti yang sangat banyak ke apartemen di awal-awal mereka menjalin hubungan.
“Apa kau masih menolak tawaranku?”
“Aku masih tidak ingin kau membantuku terus, toko roti ini adalah impianku dan aku ingin membangunnya dari keringatku sendiri, Sean.”
Beberapa kali Sean menawarkan maka sebanyak itu pula Via menolak. Baginya kehdiran Sean saja sudah cukup. Belum lama ini Via juga merasa terganggu dengan pemberitaan di media tentang wanita yang dikabarkan bertunangan dengannya, tetapi Via memilih diam daripada bertanya.
“Tidurlah, aku akan mebersihkan ini,” kata Sean mengakhiri pembicaraan.
Malamnya, Via terjaga dan mendapati Sean tidak ada di sebelah. Suara gumaman pria itu terdengar samar-samar dari arah ruang tengah. Setelah mencuci wajah, Via bermaksud untuk menyusul Sean, dan juga dia merasa lapar.
Begitu melintasi kamar, tanpa sengaja Via mendengar Sean mengatakan sesuatu yang membuat langkahnya terhenti.
“Aku akan pulang beberapa hari lagi Eve, kita bisa bertemu di sana.”
Walau Sean tidak terdengar berbisik, tetapi Via merasa hatinya berdenyut bagai dicubit. Mendengar nama wanita lain yang menjadi pasangan Sean di setiap gossip ternyata membuat hati Via tidak kuat.
“Ya, akan kusampaikan pada Ibu. Kau pulang juga?”
Entah mengapa mendengar interaksi keduanya, semakin meyakinkan Via bahwa Sean dan Evelyn memiliki hubungan yang begitu dekat.
“Hmm … hmm … aku juga rindu padamu. Kabari aku bila kau sudah sampai.”
Hati Via bergetar mendengar nada Sean yang mengatakan rindu pada wanita lain. Selama ini pria itu tidak sekali pun mengucapkan kata-kata yang menunjukan perasaan seperti rindu, atau panggilan kecil; misalnya sayang, baby, atau sejenis. Hati Via terasa berdarah mendengar nada suara Sean yang rendah saat mengucapkan kata tersebut pada wanita di seberang.
Tahu diri akan posisinya, Via pun menguatkan diri, memasang senyum pura-pura berharap Sean tidak menyadari, serta mempersiapkan diri keluar kamar begitu Sean menyudahi panggilan telepon. Sengaja Via berjalan dengan menghentakan kaki, sedikit bersuara untuk memberi tahu keberadaannya.
“Hey,” sapa Sean melihat Via keluar kamar dengan wajah masih mengantuk.
“Hey, aku lapar,” jawab Via dengan senyum kecil sedikit dipaksa, berharap senyumnya terlihat natural di mata Sean.
“Aku memesankan makanan kesukaanmu. Ayo kutemani,” katanya dengan pandangan lembut yang tidak biasa.
Sesaat tadi Via merasa seolah mata Sean memancarkan cinta, tetapi dia menepis karena setelah mendengar cara pria itu berbicara dengan Evelyn, membuat Via tidak bisa mempercayai matanya sendiri.
Sean menuntun Via hingga ke ruang makan, keduanya menikmati makan malam dalam hening. Via yang penuh akan pikiran sendiri, sedang Sean entah memikirkan apa di sebelah.
Next Chapter