Bab 252
Bab 252
Ruang Untukmu Bab 252
Bab 252 ‘Trans, aku dengar kamu marah karena harus dirawat di rumah sakit, jadi aku datang menjengukmu!" Ujar laki-laki itu dengan
senyuman palsu di wajahnya.
Ketika Frans melihatnya, wajahnya seketika memerah dan dia berseru, "Lukman! Dasar licik! Kamu pikir aku ini target yang tepat, ya? Pergi
dari sini sekarang!" Tasya seketika waspada.
Saat dia melihat sosok laki-laki berpakaian rapi itu, dia langsung tahu kalau laki-laki ini punya niat jahat. NôvelDrama.Org © content.
Ketika dia melihat reaksi Ayahnya, dia menduga kalau laki-laki ini adalah orang yang berniat merebut perusahaan Ayahnya.
"Ck, Frans, kenapa kamu masih keras kepala? Berikan perusahaannya pada kami dan kamu bisa pensiun dengan tenang!" Ujar laki-laki itu.
Dia terlihat seperti orang baik, tapi sebenarnya dia sedang menghina Ayah Tasya.
"Keluar! Aku tidak mau bernegosiasi dengan orang sepertimu.
Kamu tidak akan bisa merebut perusahaanku!" Ujar Frans.
Dadanya terasa sesak.
Dia marah ketika mendengar perkataan Lukman.
"Saya tidak kenal siapa Anda, tapi tolong keluarlah dari kamar Ayah saya."
"Waduh, tunggu dulu! Ini pasti anak perempuanmu! Cantik sekali!” Ujar Lukman sambil menatap Tasya dengan tatapan cabul.
Orang lain yang melihat tatapannya, pasti akan tahu kalau dia seperti orang cabul yang ada di jalanan.
Saat ditatap seperti itu, Tasya merasa gugup dan bergidik ngeri.
Dia berbicara dengan nada dingin, "Tolong keluarlah!" “Kenapa terburu-buru, cantik? Aku datang hanya ingin berbicara sebentar dengan Ayahmu sebelum aku pamitan."
Lukman menatap Frans dan mencibir, "Lihat kondisinya sekarang! Perusahaanmu akan jadi milikku.
Lihat sekelilingmu, Frans.
Kamu seharusnya sudah pensiun setelah bekerja keras selama bertahun-tahun.
Ayolah, berikan saja perusahaannya! Itu akan menguntungkan kita berdua!" 1/3 Frans sangat marah sampai dadanya terasa sangat sesak.
Ketika melihat Ayahnya marah, tiba-tiba Tasya teringat kalau dokter bilang Ayahnya tidak boleh terlalu stress, kalau tidak nanti penyakit jantungnya akan kambuh.
Pada akhirnya emosinya pun meledak dan dia mengambil pisau buah di meja.
"Saya sudah meminta Anda untuk pergi! Apa Anda tidak dengar?!" Seru Tasya.
Lukman seketika panik melihat Tasya.
Asistennya pun berusaha melindunginya.
“Waduh! Kamu punya anak perempuan yang ganas juga, ya! Tapi tidak masalah, sih, kamu sudah jadi pemberani sejak masih muda.
Aku suka padamu," ujar Lukman sambil menatap Tasya dengan angkuh.
Tasya merasa jijik dibuatnya, tapi dia tidak tahu harus melakukan apa untuk menghadapi orang seperti ini.
"Keluar!" ujar Tasya sambil melangkah maju.
Sebelum Lukman pergi, dia mengancam Ayah Tasya dan berkata, “Frans, aku sudah mengatakan keinginanku.
Jangan membuatku sampai harus bertindak lebih jauh daripada ini!” Setelah itu, dia menatap Tasya dan berkata, "Aku dengar kamu punya dua anak perempuan.
Kalau keduanya cantik-cantik, aku yakin banyak laki-laki yang tertarik pada mereka, ya." Sebelum Tasya menutup pintu, Frans yang sedang
marah pun berteriak, "Bahkan kalau aku mati, aku tidak akan pernah memberikan perusahaanku pada bajing*n sepertimu!" "Tenanglah,
Ayah.
Ayah harus menjaga kesehatan jantung Ayah!" ujar Tasya mencoba menenangkan Ayahnya.
"Apa menurutmu Ayah mau menyerahkan perusahaan padanya? Lebih baik Ayah mengemis bantuan pada Elan daripada membiarkan
bajing*n itu mengambil alih perusahaan Ayah! Tasya, berjanjilah pada Ayah kalau kamu akan meminta bantuan Pak Elan, ya? Kita
membutuhkan bantuannya untuk menyelamatkan kita saat ini." Frans terlihat sangat gugup sampai-sampai dia menggenggam tangan
Tasya, meminta Tasya untuk berjanji padanya.
Tasya terdiam sejenak, tidak tahu harus menjawab apa.
Tapi, Frans menatapnya dengan tatapan penuh harap dan memohon, "Ayah tahu kalau kamu mengenal Pak Elan dengan baik.
Bisakah kamu berjanji pada Ayah kalau kamu akan meminta bantuannya?" Tasya bimbang.
Bagaimana caranya dia bisa memberitahu Ayahnya tentang permasalahannya sendiri? Tasya tahu Elan pasti akan langsung membantunya
kalau dia yang meminta.
Apalagi, dia sudah berjanji akan membantu Ayahnya.
Tapi, dia sudah terlanjur memberi batasan di antara mereka berdua, dua hari yang lalu.
Kalau dia meminta bantuannya sekarang, sebenarnya bukan karena malu, tapi Tasya mengkhawatirkan harga diri dan martabatnya sendiri.
"Kalau kamu tidak bisa melakukan itu, biar Ayah yang menelponnya.
Ayah tahu kamu pasti malu kalau meminta bantuannya, karena kamu masih muda.
Tapi bagi Ayah, harga diri itu sudah tidak ada artinya lagi." Setelah melepas genggaman tangannya, Frans sadar kalau dia tidak bisa lagi
terlalu berharap pada anak perempuannya.