Ruang Untukmu

Bab 227



Bab 227

Ruang Untukmu

Bab 227

Jantung Omar berdegup kencang. Meskipun mereka berdua seumuran, tetapi bagaimana bisa pria di pintu ini memiliki aura sekuat dan seintens ini? Omar langsung tahu kalau Elan merupakan seseorang yang tidak bisa dia sakiti. Selain itu, Omar juga mengira kalau Elan pacarnya Tasya.

Saat Tasya melihat Omar turun dengan lift, wanita itu berkata dengan gembira, “Omar, aku akan mentrakurmu makan siang besok. Pastikan datang ya!”

“Tentu saja. Sampai jumpa besok,” kata Omar yang pergi dengan selubung komputer Tasya di tangannya.

Si wanita lalu berbalik dan menemukan kalau Elan yang berdiri di depan pintu memandangnya dengan penuh pertanyaan. Namun, wanita itu berkata dengan

tenang, “Kamu juga harus pulang. Ini sudah larut.”

“Jelaskan. Siapa dia dan kenapa dia membantumu memperbaiki komputermu?” tanya Elan dengan raut muka muram seolah–olah haknya sudah dilanggar.

“Namanya Omar Surendra, dia tetanggaku. Pria itu juga orang baik yang jago dalam pekerjaannya,” kata Tasya buru–buur memperkenalkan Omar, tetapi wanita itu lalu merasa agak kesal.

Kenapa dia harus repot–repot menjelaskan kepada Elan? Pria itu boleh saja salah paham sesukanya! Akan tetapi, Jodi berlari dan berkata pada Elan, “Om Elan, Om Omar tinggal tepat di sebelah kami. Seminggu yang lalu, Mama meninggalkan ponselnya di taksi dan Om Omar itu orang yang mengambilnya dan mengembalikan ponsel Mama. Selain itu, Om Omar pintar dengan komputer.

Komputer kerja Mama mendadak rusak mala mini, jadi Mama meminta Om Elan kemari untuk membantu memperbaiki komputernya. Jangan salah paham, Om Elan!”

“Jodi, ini sudah larut. Tidurlah,” kata Tasya yang merasa putranya ini senang mencampuri urusan orang lain karena anak ini tidak berkewajiban menjelaskan sedetail itu kepada Elan.

Mendengar itu, Elan masih merasa agak kesal. Lagi pula, pria itu tidak akan pernah membiarkan keberadaan pria lain di sekitar Tasya.

“Om Elan, Mama akan mendapatkan mobil barunya besok. Mama bilang Mama akan mengantarku!” lanjut Jodi.

Elan berbalik untuk melihat wanita itu dan bertanya pada Tasya, “Kamu membeli mobil? Apa kamu punya SIM?”

“Jangan meremehkanku. Tentu saja, aku punya SIM.”

Tasya mendapatkannya enam tahun yang lalu di tahun kedua kuliahnya, tetapi wanita itu tidak pernah punya kesempatan inengemudi sejak mendapatkan SIM.

“Jodi, tidurlah. Ini sudah jam 10 malam. Kenapa kamu malah belum tidur?” tanya si wanita sembari melirik putranya.

Segera saja, bocah laki–laki itu berkata dengan sadar, “Baiklah. Mama, Om Elan, terus mengobrol! Jangan berkelahi, ya? Aku mau pergi tidur.”

Si bocah kembali ke kamarnya. Begitu dia menutup pintu kamarnya, seorang pria kuat mencengkeram lengan Tasya. Sebuah suara rendah memperingatkan, “Tasya, jangan biarkan orang yang tidak kamu kenal berada di rumahmu ke depannya. Apa aku sudah jelas memperingatkanmu?”

Tasya menatap pergelangan tangannya yang dipegang pria itu. Si wanita agak melawan agar dirinya bisa terlepas dari cengkeraman pria itu, “Omar bukan orang jahat. Kamu tidak usah khawatir.”

“Jangan menilai orang dari penampilannya. Bagaimana bisa kamu seyakin itu kalau dia tidak punya pikiran yang aneh–aneh terhadapmu? Hanya ada kamu dan Jodi di sini. Jadi, kalau kalian bertemu dengan seseorang yang berniat buruk, kalian berdua dalam bahaya.”

Hati Elan diliputi kecemasan.

Apa wanita ini tidak waspada akan bahaya sedikit pun? All content © N/.ôvel/Dr/ama.Org.

Tentu saja, Tasya sangat paham. Wanita ini mampu menilai seseorang. Di matanya, Omar dianggap sebagai orang baik.

“Kamu juga orang yang sangat berbahaya bagiku. Silakan pergi!” seru Tasya yang mundur selangkah dan mencoba mengejarnya dengan acuh tak acuh.

Dari semua pria yang dia kenal, orang yang paling memanfaatkannya dan paling tidak menghormatinya tidak lain adalah Elan sendiri.

“Aku lelah. Biarkan aku tidur di sofamu,” kata Elan yang tidak mau pergi karena kelelahan.

Sebenarnya, pria itu sudah menyelesaikan pekerjaannya dari tadi agar dia bisa pulang secepat mungkin. Oleh karena itu, dia tidak tertidur selama 24 jam terakhir. Sementara itu, Tasya tercengnag. Wanita itu baru saja berbicara tentang betapa berbahayanya Elan, tetapi si pria justru menolak meninggalkan rumahnya.

“Elan, berhenti main–main dan pulang sekarang,” ujar Tasya mengulurkan tangan dan menariknya.

Pria itu berbalik menatapnya. Saat Tasya menatap mata Elan, wanita itu terkejut.

Mata indah pria ini memerah, seolah–olah dia bergadang semalaman. Tasya melepaskan cengkeramannya padanya dan bertanya dengan khawatir, “S–Sudah berapa lama sejak terakhir kali kamu tidur?”

Mata Elan masih merah saat bibirnya yang tipis melengkung membentuk senyuman saat dia bertanya, “Apa kamu merasa khawatir?”

Pria ini jelas–jelas kelelahan. Tasya sebenarnya tidak terlalu mengkhawatirkanny. Namun, dia hanya berpikir kalau Elan terus seperti ini, pria itu akan jatuh sakit suatu hari nanti.

Previous Chapter

Next Chapter


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.