Bab 80
Bab 80
Bab 80
Mobil Alphard berhenti di depan Samantha.
Samantha sama sekali tidak mempedulikan para guru wanita itu, setelah dia membuka pintu mobil dan masuk ke dalamnya, mobil pun langsung melaju pergi.
Dia melepas kacamata hitamnya, matanya yang bulat penuh dengan kemarahan.
Manajer Vicky awalnya hendak bertanya mengapa Samantha selesai begitu cepat, namun ketika dia melihat ekspresi Samantha yang kesal, dia pun memilih untuk diam.
Samantha menggigit tangkai kacamata hitamnya, gigitannya semakin kuat setiap kalinya.
Samantha sangat yakin, wanita dengan wajah penuh bintik itu adalah Samara.
Sudah cukup jika sepasang anak kembar yang nakal itu menyukai wanita jelek itu, sekarang bahkan Asta pun mulai menyukainya?
Sebelumnya, dia mengira bahwa wanita ini terlalu jelek, pasti Asta tidak akan pernah melihatnya, jadi dia tidak mempermasalahkannya.
Namun......
Beberapa hal itu berkembang di luar ekspektasinya.
Informasi yang baru saja dia dengar tadi menyadarkannya.
Jika terus di bjarkan, dia khawatir ‘Samara‘ akan menjadi penghalang dalam hidupnya, sama seperti wanita yang sudah meninggal itu.
“Vicky, ininta Kak Roy selidiki seseorang untukku.”
” Kak Samantha, siapa maksudmu?”
“Samara Wijaya.” Samantha berkata dengan dingin, “Secepatnya, saya ingin
tahu kabarnya secepat mungkin.”
“Baik.”
Setelah meninggalkan taman kanak–kanak, mereka berempat pergi ke Restoran Metroluxe untuk makan malam, mereka terlihat seperti keluarga.
Selesai makan malam, Asta mengantar Samara untuk pulang terlebih dahulu.
Kedua anak kembar itu duduk di barisan belakang mobil, sementara Asta dan Samara duduk di barisan depan.
Ketika mobil terhenti di lantai bawah kediaman Samara, dia berbalik untuk mengucapkan selamat tinggal kepada sepasang anak kembar itu.
Setelah berbalik, Samara mendapati bahwa kedua anak kembar itu sudah sama–sama tertidur.
Dua anak kecil yang memiliki pipi tembem itu, mata mereka tertutup, bulu mata mereka sangat lentik dan tebal, seperti boneka, mulut mereka berdua sedikit terbuka.
Sangat lucu hingga dia tidak bisa menahan dirinya untuk tidak mencubit pipi mereka.
Anak–anak yang lincah dan aktif, namun sekarang mereka sudah kehabisan energi. Mereka pasti sudah sangat lelah seharian ini, sehingga mereka bisa tertidur
di mobil
Samara tentu saja tidak tega membangunkan mereka, sudut bibirnya sedikit bergerak, dia mengucapkan selamat tinggal kepada mereka dalam hatinya.
Saat berbalik, dia tidak mengingat keberadaan Asta di sampingnya
Namun, dia tidak menduga bahwa Asta juga sedang berbalik ke samping untuk melihat kedua anak kecil itu di belakang
Di dalam mobil sangat sempit, sehingga saat dia berbalik, wajah Samara pun berada sangat dekat dengan Asta.
Bibirnya... dengan lembut mengusap sudut bibir pria itu.
Yang terjadi berikutnya, sama sekali tidak mereka duga.
Keempat mata itu saling berhadapan, dan ada sedikit kepanikan di tatapannya.
Samara menyalahkan dirinya karena terpengaruh oleh Asta.
Asta menyalahkan ciuman yang tidak di sengaja tadi, ciuman itu meningkatkan gairahnya, dan darah di tubuhnya hampir mendidih. This content belongs to Nô/velDra/ma.Org .
Ciuman di koridor tadi sore, meskipun dia mencium Samara hingga hampir kehabisan nafas, tapi baginya... ciuman itu, terlalu singkat.
Bibirnya terlalu manis.
Asta merasa kesulitan untuk mengendalikan dirinya, dan tidak ingin repot untuk menenangkan diri.
Dia tidak ingin tenang.
Saat ini, dia hanya ingin mencium bibirnya dalam–dalam.
Samara yang bisa merasakan gairah Asta, berkata: “Terima kasih... Saya jalan duluan ya.”
Sambil mengatakannya, tangannya meraih sabuk pengaman, dia ingin pergi dengan cepat, dan keluar dari situasi ini sebelum terjadi hal–hal di luar kendali.
Tapi...
Asta sudah mengetahui niatnya.
Jarinya yang kuat dan panjang itu mencubit dagu Samara, memaksanya untuk menatap lurus ke matanya, dan tidak melihat ke arah yang lain.
Jika kedua anak itu melihat adegan ambigu antara dia dan ayah mereka,
pasti akan sulit untuk menjelaskan kebenarannya pada mereka.
“Asta… bisakah kamu… tenang?”
Takut bisa membangunkan kedua anak kecil di kursi belakang, Samara berusaha mungkin untuk menahan suaranya.
Samara berpikir dengan berkata demikian, Asta akan lebih bersikap sebagai seorang ayah.
Namun dia terlalu meremehkan kelicikan dan ketidakmaluan Asta, dan hanya berkata dengan suara rendah.
“Saya... tidak bisa tenang.”
Previous Chapter Next Chapter