Bab 41
Bab 41
Bab 41
Suara nafas Asta dari tenang berubah menjadi kasar dan berat, dia menarik kembali lengannya, berbalik badan dan meninggalkan tempat itu.
Samara menatap bayangan tubuh pria yang meninggalkan tempat itu, dia merasa bingung.
Barusan tinjunya ingin menghancurkan wajahnya, mengapa tiba tiba tanpa berkata apapun meninggalkan tempat itu?
Sampai pecah kepalanya juga tidak terpikir olehnya alasan mengapa Tuan itu marah kepadanya?
Selesai dari toilet, Samara kembali ke tempat duduknya, dia baru menyadari di meja cuma ada Peter seorang, anaknya tidak berada di tempat.
“Dimana Javier?”
“Dia bilang dia kebelet, mau pergi ke toilet.”
“Saya tidak melihatnya tadi.”
Peter takut Samara khawatir, dia berinisiatif dan berkata: “Kalau begitu saya ke toilet pria untuk mencarinya? Lagipula dia masih kecil.”
“Tidak perlu.” Samara minum coca cola dinginnya, lalu tertawa: “Dia pasti bukan pergi ke toilet, tetapi pergi ke tempat lain dan takut kamu khawatir, sehingga baru mengatakan akan ke toilet. Jangan kamu melihat dia baru berumur 5 tahun, di dalam hati bocah ini banyak sekali ide ide miringnya.”
Menyinggung anaknya ini, tanpa dapat dicegah Samara menyeringai, di dalam hatinya merasa Sangat bangga.
Kalau malam menawan enam tahun yang lalu, lautan api yang tak terbatas adalah mimpi buruknya, maka Xavier dan Javier adalah cahaya pemberian Tuhan untuk mengusir kegelapan
Kalau bukan karena mereka, mungkin waktu itu dia tidak akan mempunyai kekuatan untuk melarikan diri dengan memanjal jendela.
Peter mengejapkan matanya, dengan pelan dia nitanya: “Saya sangat penasaran, saya berempati terhadapmu, apa yang sebenarnya iclali kamu alami sehingga bisa berkata seperti itu?
“Hampir sama dengan yang kamu alami.” Samara menutup mulutnya, matanya sangat dingin:
Tidak lebih dari setelah disayang dan dibawa oleh orang yang paling dicintai sampai ke tempat yang paling tinggi, lalu didorong dengan kejam ke jurang tanpa batas, itu saja.”
Peter menduga adalah satu masalah, mendengar langsung pengakuan Samara adalah masalah lain. NôvelDrama.Org holds this content.
Dia menatap Samara dari samping, dan merasakan wanita ini waktu berbicara pembawaannya serasa kesepian, mungkin apa yang pernah dia alami lebih sakit beberapa ribu kali dibandingkan dirinya.
Di luar restoran.
Pandangan Asta mengarah pada tempat duduk di dekat jendela, dia melihat seorang pria sedang menatap Samara sambil termenung.
Tidak dapat mendengar apa yang dibicarakan mereka, tetapi Asta dapat merasakan di depan pria itu Samara dapat melepaskan semua pertahanannya, memperlihatkan penampilan dia yang paling rapuh di hadapan pria tersebut
Siapakah pria itu?
Berdasarkan apa dia membuat Samara menampilkan ekspresi seperti itu?
Pandangan matanya yang mendalam perlahan-lahan menjadi suram, lekuk di wajahnya juga perlahan- lahan menjadi tegang, aura yang ditampilkan seluruh tubuhnya juga menurun.
Tanpa dapat dicegah hati Asta merasa gelisah, jari jari tangannya yang panjang dan sempurna mengambil sebatang rokok dari dalam kotaknya, disampingnya tiba tiba terdengar suara anak kecil yang nyaring
“Paman, ternyata benar wajah saya sangat mirip dengan Paman!”
Mata Asta setengah terpejam, pandangannya yang mendalam pelan pelan jatuh pada tubuh bocah di hadapannya ini.
Bocah di depannya ini dapat dilukiskan sebagai ukiran batu giok, wajah bulatnya merah merona, mata besarnya terasa sangat hidup.
Karena bocah ini masih kecil, panca inderanya masih belum tumbuh sempurna, dilihat sekilas juga belum bisa dikatakan mirip sekali, tetapi kalau dipandang dengan teliti, Asta benar benar dapat menemukan bayangan dirinya di wajah bocah tersebut.
Beberapa bagian kemiripan ilu, sudali melebihi kemiripan antara Oliver dengan dirinya
Asia tidak membantali, keningnya juga sama sekali tidak mengerut.
Menyapa kalau mirip, Asta tidak merasa bocah ini adalah anak kandungnya.
Dia hanya pernah diperdaya sekali, dan hanya berhubungan dengan dengan satu wanita dan
sekali itu saja, Samantha juga sudah membawa Oliver dan Olivia ke rumah keluarga Costan.
Jika masih ada anak yang lain, dia tidak yakin Samantha akan melepaskan kesempatan yang begitu baik.
Asta menyulut rokoknya dengan mancis, asap rokok berwarna biru menari nari diantara jarinya.
Bocah itu pelan pelan mengernyitkan keningnya: “Paman, Ibu saya tidak suka bau asap rokok, apakah kamu boleh berhenti merokok demi Ibu saya?”
Asta tanpa sadar menarik ujung bibirnya, melirik sekilas kearah bocah yang sedang mengoceh: “Mengapa saya harus berhenti merokok demi Ibu kamu?”